Jl. Cempaka Putih Barat, DKI Jakarta 085331383980 hikmahbudhi@gmail.com
News

PP Hikmahbudhi Sesalkan Upaya Pengaburan Sejarah oleh Menbud Fadli Zon

Pernyataan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia (Menbud RI) Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai rumor yang belum terbukti telah menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.

Dalam wawancara yang kini viral di media sosial, Fadli Zon mempertanyakan validitas tragedi pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan 1998, dengan dalih perlunya bukti kuat untuk menyebutnya sebagai fakta sejarah. Lebih dari sekadar kekeliruan persepsi, pernyataan tersebut mencerminkan upaya sistematis untuk mengaburkan sejarah dan melemahkan narasi korban.

Hikmahbudhi melalui Sekretaris Presidium Pusat Melinia Luky menyatakan, bahwa pernyataan tersebut tak sesuai dengan fakta historis dan dokumen resmi serta dapat mencederai perjuangan para penyintas, aktivis HAM, dan tim investigasi independen yang selama lebih dari dua dekade telah menyuarakan kebenaran.

Bahkan secara tidak langsung Fadli Zon seakan mengabaikan pernyataan mantan Presiden BJ Habibie yang telah mengakui peristiwa tersebut, serta data-data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998.

“Tragedi 1998 adalah luka kolektif yang tidak boleh dimanipulatif dan dengan mengaburkan tragedi ini mengatasnamakan kehormatan bangsa justru dapat mempermalukan martabat bangsa itu sendiri, karena bangsa yang besar bukan bangsa yang menyembunyikan dosa, tapi yang berani menebus dan mengakuinya,” kata Melinia Luky, dalam keterangannya yang diterima.

Selain itu, pernyataan Fadli Zon dianggap sebagai salah satu bagian dari agenda besar pemerintah yaitu perevisian sejarah nasional. Upaya tersebut adalah bentuk rekayasa ingatan publik yang disengaja dan proyek politik untuk memutihkan masa lalu, membungkam suara korban, dan mencuci tangan elite yang terlibat dalam kekerasan struktural negara.

Munculnya statemen tersebut dari seorang Menteri Kebudayaan merupakan simbol dari pejabat publik yang lebih takut mengakui dosa sejarah ketimbang memperjuangkan keadilan bagi para korban. Seharusnya kekuasaan bukan alat untuk pembungkaman sejarah, melainkan untuk membantu penegakan kebenaran.

“Sebagai mahasiswa Buddhis, kami percaya bahwa kebenaran bukan untuk disembunyikan dan belas kasih yang sejati, artinya berdiri bersama korban, bukan membela ego kekuasaan karena hal ini dapat melecehkan perjuangan kemanusaian dan melanggengkan budaya impunitas. Maka dari itu PP Hikmahbudhi mendesak Bapak Faldi Zon untuk segera menganulir statemen dan bersedia meminta maaf kepada publik,” tandas Melinia Luky.

Tinggalkan Balasan